Senin, 21 Mei 2012




A. Pendahuluan
Enzim dan Koenzim
Enzim adalah polimer biologik yang mengkatalisis reaksi kimia
yang berlangsung dalam tubuh. Sebagian besar enzim merupakan
protein globuler yang terlarut dalam larutan tubuh seperti sitoplasma
atau cairan tubuh lainnya, lain daripada itu, dengan kemajuan ilmu dan
teknologi telah banyak diidentifikasi bahwa banyak molekul RNA yang
ternyata juga berperan sebagai enzim. Tidak semua protein dalam
tubuh adalah enzim. Untuk dapat dikatakan sebagai enzim, protein
tersebut harus memiliki kemampuan untuk mengkatalisis reaksi kimia.
Banyak penyakit yang berkaitan dengan defek pada enzim
seperti kekurangan jumlah atau aktivitas katalitik enzim-enzim kunci.
Hal ini dapat disebabkan karena kelainan genetic, kekurangan gizi
atau toksin. Glycogen storage disease (GSD) merupakan contoh dari
banyak kasus penyakit yang berkaitan dengan enzim. Glycogen
storage disease merupakan penyakit herediter yang disebabkan oleh
gangguan metabolism glikogen. Insidensi dari penyakit ini adalah
berkisar antara 1:20.000-43.000 kelahiran hidup. Terdapat 12 tipe dari
GSD yang pembagiannya didasarkan pada defisiensi enzim dan organ
target dari defisiensi tersebut. Secara primer, GSD akan menyerang
hepar, otot atau keduanya dengan gambaran klinik hepatomegali,
gangguan dalam pertumbuhan, hipoglikemia, hiperlaktasemia,


hiperurisemia, dan hiperlipidemia. Gambaran klinik tersebut tergantung
dari organ yang mengalami kerusakan akibat timbunan glikogen dalam
organ tersebut.

B. Klasifikasi Enzim
International Union of Biochemistry and Molecular Biology
(IUBMB) mengklasifikasi enzim berdasarkan tipe reaksi yang
dikatalisisnya. Berdasarkan tipe reaksi yang dikatalisis itu, enzim
dibagi menjadi 6 kelas dan masing-masing kelas terbagi lagi menjadi
subkelas (4-13 subkelas) dan dari subkelas dibagi lagi menjadi
subsubkelas. Adapun keenam kelas enzim antara lain : 
1. Oksidoreductase
• Mengkatalisis oksidasi dan reduksi
• Contoh : alcohol dehidrogenase (EC1.1.1.1)
2. Transferase
• Mengkatalisis pemindahan gugus seperti : Glikosil, Metil,
fosforil, aldehid dan keton.
• Contoh : ATP (D-heksosa-6-fosfotransferase/heksokinase)
(EC2.7.1.1)
3. Hidrolase
• Mengkatalisis pemutusan hidrolitik dalam ikatan C-C, C-O, C-N
dan ikatan lain.
• Contoh : Beta-Galaktosidase (EC3.2.1.23)


4. Liase
• Mengkatalisis pemutusan ikatan C-C, C-O, C-N, dan ikatan lain
dengan eliminasi atom yang menghasilkan ikatan rangkap.
• Contoh : Fumarat hidratase (Fumarase) (EC4.2.1.2)
5. Isomerase
• Mengkatalisis perubahan geometric atau structural di dalam
satu molekul.
• Contoh : triosafosfat isomerase (EC5.3.1.1)
6. Ligase
• Mengkatalisis penyatuan dua molekul yang dikaitkan dengan
hidrolisis ATP.
• Contoh : Asetil-KoA-karboksilase (EC6.4.1.2)

C. Sistem Penamaan (Nomenklatur) Enzim
Untuk kepentingan penelitian, penamaan enzim didasarkan
pada ketentuan yang disepakati dalam IUBMB, dengan mengadopsi
sebuah system yang kompleks namun tidak meragukan bagi
peristilahan enzim yang berdasarkan mekanisme reaksi. Walaupun
telah ditetapkan aturan tersebut, nama lazim (yang biasanya lebih
pendek) dari enzim juga sering digunakan dalam buku ajar dan
laboratorium klinik.




Adapun ketentuan itu adalah :
1. Reaksi dan enzim yang mengkatalisisnya membentuk enam kelas,
dan masing-masing kelas mempunyai 4 hingga 13 subkelas.
2. Nama enzim terdiri atas 2 bagian. Nama pertama menunjukkan
substratnya. Nama kedua, yang berakhir dengan akhiran –ase,
menyatakan tipe reaksi yang dikatalisis.
3. Informasi tambahan, bila diperlukan untuk menjelaskan reaksi,
dapat dituliskan dalam tanda kurung di bagian akhir; misalnya
enzim yang mengkatalisis reaksi L-malat + NAD
NADH + H
+
 diberi nama 1.1.1.37 L-malat:NAD
(dekarboksilasi)
+
 = piruvat + CO
+
2
 oksidoreduktase
4. Setiap enzim mempunyai nomor kode (EC) yang menandai tipe
reaksi berkenaan dengan kelas (digit pertama), subkelas (digit
kedua) dan subsubkelas (digit ketiga. Digit keempat adalah untuk
enzim spesifik.
Contoh :
EC1.1.1.1 (Alkohol dehidrogenase) menyatakan kelas pertama
(oksidoreductase) subkelas pertama (-C-OH sebagai donor
electron) subsubkelas pertama (NAD (P)
electron)
+
 sebagai akseptor
EC2.7.1.1 (ATP:D-Heksosa-6-fosfotransferase (heksokinase)
menyatakan kelas 2 (transferase) subkelas 7 (pemindahan gugus
 +


yang mengandung fosfor) subsubkelas pertama (menunjukkan
gugus –CH-OH sebagai akseptor.

D. Gugus Prostetik, Kofaktor dan Koenzim
Merupakan molekul organik non protein atau molekul anorganik
(ion) yang dapat dibutuhkan secara langsung dalam mengkatalisis
atau pengikatan substrat. Disebut gugus prostetik bila terintegrasi erat
ke dalam struktur enzim dan tidak dapat dilepaskan dari enzim tanpa
merusak enzim. Kofaktor hanya berikatan secara transien dan mudah
terlepas dengan enzim atau substrat. Koenzim berfungsi sebagai
pengangkut atau bahan pemindah gugus.
Sebagian besar koenzim, kofaktor dan gugus prostetik
merupakan turunan dari vitamin B. selain vitamin B, beberapa koenzim
mengandung gugus adenine, ribose, dan fosforil AMP atau DMP.
Contoh dari kofaktor, koenzim dan gugus prostetik antara lain :
o Pyridoksal fosfat untuk aktivitas enzim transaminase
o Ion zinc untuk aktivitas enzim karboksipeptidase
o NAD (P) untuk aktivitas enzim alcohol dehydrogenase.






E. Mekanisme Kerja Enzim

Prinsip kerja enzim berlangsung dalam dua tahap. Pada tahap
pertama, enzim (E) bergabung dengan substrat (S) membentuk
kompleks enzim substrat (E-S). tahap kedua, kompleks enzim-substrat
terurai menjadi produk dan enzim bebas.
Terdapat dua model yang diusulkan pada kegiatan enzim dalam
mempengaruhi substrat sehingga diperoleh zat hasil, yaitu model kunci
dan anak kunci, dan model induced fit.
Pada model kunci dan anak kunci, substrata tau bagian substrat
harus mempunyai bentuk yang sangat tepat dengan sisi katalitik
enzim. Substrat ditarik oleh sisi katalitik enzim yang cocok untuk
substrat tersebut sehingga terbentuk kompleks enzim substrat.








Pada model induced fit, lokasi aktif beberapa enzim mempunyai
konfigurasi yang tidak kaku. Enzim berubah bentuk menyesuaikan diri
dengan bentuk substrat setelah terjadi pengikatan. Jadi, tautan yang


cocok pada keduanya dapat diinduksi ketika terbentuk kompleks
enzim-substrat.









F. Kinetika Enzim
Laju reaksi yang dikatalisis oleh enzim dipengaruhi oleh :
1. Suhu
Suhu rendah yang mendekati titik beku biasanya tidak
mersuak enzim. Pada suhu dimana enzim masih aktif, kenaikan
suhu sebanyak 10oC menyebabkan keaktifan menjadi 2 kali lebih
besar sehingga akan meningkatkan laju reaksi sampai suatu titik
yang melebihi hambatan energi untuk merusak interaksi
nonkovalen yang mempertahankan struktur tiga dimensi enzim,
yang kemudian akan menguraikan rantai polipeptida enzim dan
akhirnya mengalami denaturasi, disertai hilangnya kemampuan
katalitik enzim. Enzim akan bekerja dengan baik pada suhu


optimum. Di dalam tubuh manusia enzim akan bekerja optimum
pada suhu sekitar 37oC.
2. Konsentrasi ion hidrogen (pH)
Karena terdapat komponen asam dan basa dalam protein
penyusun enzim, aktivitas enzim sangat tergantung terhadap pH.
Sebagian besar enzim intrasel memperlihatkan aktivitas optimal
pada nilai pH antara 5 dan 9. Hubungan aktivitas dengan
konsentrasi ion hidrogen mencerminkan keseimbangan antara
denaturasi enzim pada pH tinggi atau rendah.
3. Konsentrasi substrat mempengaruhi laju reaksi
Untuk suatu enzim tipikal, peningkatan konsentrasi substrat
akan meningkatkan kecepatan awal, hingga tercapai nilai
maksimal, jika peningkatan lebih lanjut, konsentrasi substrat tidak
meningkatkan kecepatan awal, enzim dikatakan “jenuh” oleh
substrat.
Persamaan Michaelis-Menten & Hill menggambarkan efek
konsentrasi substrat.
Vi = Vmaks [S] / Km + [S]
Km : Konstanta Michaelis, adalah konsentrasi substrat dengan Vi
adalah separuh dari kecepatan maksimal (1/2 Vmaks) yang dapat
dicapai pada konsentrasi terntentu dari enzim.
Ada tiga kondisi :


a. Harga konsentrasi substrat jauh lebih kecil daripada harga Km,
maka kecepatan reaksi awal berbanding lurus dengan
konsentrasi substrat.
b. Harga konsentrasi substrat jauh lebih besar dari harga Km,
maka kecepatan reaksinya adalah maksimal dan tidak
dipengaruhi oleh peningkatan lebih lanjut dari konsentrasi
substrat.
c. Harga konsentrasi substrat sama dengan harga Km, maka
kecepatan awal adalah separuh dari Vmaksimal.
4. Konsentrasi enzim
Kecepatan reaksi enzim berbanding lurus dengan
konsentrasi enzim. Makin besar jumlah enzim makin cepat
reaksinya. Konsentrasi enzim tidak mempengaruhi harga Keq
(suatu rasio berbagai konstanta laju reaksi, dapat dihitung dari
konsentrasi substrat dan produk pada keseimbangan.
5. Inhibitor.
Inhibitor dapat bersifat reversible maupun irreversibel,
inhibitor reversible akan membentuk suatu kompleks dinamik yang
dapat terlepas dari enzimnya, sedangkan inhibitor yang irreversible
akan memodifikasi enzim secara kimiawi. Modifikasi ini umumnya
melibatkan pembentukan atau pemutusan ikatan kovalen dengan
residu aminoasil yang esensial untuk mengikat substrat, katalisis
atau mempertahankan konformasi fungsional enzim.


Suatu enzim yang telah terikat oleh inhibitor irreversible
(misalkan atom logam berat atau reagen pengasil) biasanya tidak
dapat kembali ke bentuk semula.
Inhibitor reversibel dapat bersifat :
1. Inhibitor kompetitif, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Berikatan dengan bagian dari tempat aktif yang mengikat
substrat dan menghambat akses ke substrat.
b. Struktur kimianya cenderung mirip dengan struktur kimia
substrat. Diistilahkan sebagai analog substrat.
c. Dapat terbentuk kompleks enzim-substrat dan kompleks
enzim-inhibitor
d. Peningkatan konsentrasi substrat akan mengatasi inhibisi,
sebab terikatnya substrat pada enzim, menghilangkan enzim
bebas yang tersedia untuk mengikat inhibitor, seberapa
besar konsentrasi substrat perlu ditingkatkan untuk
mengatasi inhibisi secara total bergantung pada konsentrasi
inhibitor yang ada.
e. Misalkan malonat merupakan inhibitor kompetitif terhadap
aktivitas enzim suksinat dehindrogenase, sebagai substrat
adalah suksinat dan sebagai produk adalah fumarat.
f. Inhibitor kompetitif tidak berefek pada harga Vmaks, tetapi

meningkatkan harga Km.
10 

2. Inhibitor nonkompetitif, mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pengikatan inhibitor tidak mempengaruhi pengikatan
substrat
b. Dapat terbentuk kompleks enzim-inhibitor dan kompleks
enzim-inhibitor-substrat
c. Inhibitor nonkompetitif mengikat enzim dibagian yang
berbeda dengan bagian yang mengikat substrat.
d. Umumnya tidak memiliki kesamaan dengan struktur kimia
substrat
e. Inhibitor nonkompetitif menurunkan harga Vmaks
f. Inhibitor nonkompetitif tidak mempengaruhi harga Km.
3. Inhibitor uncompetitive, mempunyai cirri-ciri sebagai berikut :
a. Tidak dapat membentuk kompleks enzim-inhibitor
b. Hanya terikat pada kompleks enzim-substrat, maka yang
terbentuk adalah enzim-substrat-inhibitor kompleks
c. Tidak aktif pada konsentrasi substrat yang rendah.

G. Denaturasi Enzim
Enzim sebagian besar tersusun oleh protein, sehingga enzim
juga memilik sifat-sifat dari protein yaitu dapat terdenaturasi oleh
karena pengaruh lingkungan. Denaturasi protein dapat muncul
dibawah pengaruh dari lingkungan fisik, seperti suhu tinggi, tingkat
keasaman dan tekanan tinggi. Proses denaturasi akan menyebabkan
11 

kerusakan pada struktur sekunder, tersier dan kuartener dari protein
tersebut, tetapi kadang tidak untuk struktur primernya. Sehingga
denaturasi protein dapat bersifat reversibel maupun irreversibel.
Denaturasi bersifat reversibel apabila struktur primer pada protein
tersebut tidak mengalami perubahan, sedang bersifat ireversibel jika
protein mengalami kerusakan sampai tingkat struktur primernya. 
Beberapa protein yang terdenaturasi, dapat mengalami
pelipatan kembali secara spontan dengan diikuti restorasi dari aktivitas
biologiknya. Ied Anfinsen mengemukakan bahwa struktur primer dari
polipeptida sudah cukup untuk mengarahkan proses pelipatan kembali.
Untuk proses renaturasi ini selain dibutuhkan struktur primer yang utuh
dari protein penyusun enzim tersebut, juga dibutuhkan protein aksesori
lain seperti protein sidulfid isomerase, propyl cis-trans isomerase dan
chaperonin untuk mempercepat preses pelipatan kembali tersebut.

H. Faktor yang mempengaruhi jumlah enzim
1. Biosintesis
Biosintesis enzim merupakan suatu proses kompleks yang
melibatkan proses di inti sel dan disitoplasma. Adanya gangguan
dalam biosintesis tersebut, mengakibatkan adanya perubahan
efektifitas dalam pembentukan enzim yang akan berdampak jumlah
enzim dapat berlebih atau berkurang.

12 

2. Katabolisme
Setelah disintesis, enzim yang tidak akan mengalami
metabolism, yakni akan dihancurkan menjadi komponen
penyusunnya yang akhirnya akan dikeluarkan. Peningkatan
pengrusakan atau penghancuran enzim yang dapat disebabkan
oleh kelainan internal atau eksternal akan berpengaruh pada
jumlah enzim.
3. Mutasi
Mutasi pada gen pengkode protein enzim akan
menyebabkan gangguan sintesis enzim. Gangguan tersebut dapat
bersifat parsial, atau penuh. Gangguan bersifat parsial berarti tubuh
masih mampu mensintesis enzim tetapi jumlahnya berkurang.
Sedang bersifat penuh apabila tubuh sama sekali tidak dapat
mensintesis enzim.
4. Represi, derepresi dan inducer
Dalam menjalankan fungsinya enzim akan diatur oleh
protein lain agar jumlahnya dalam batas fisiologis. Proses tersebut
dikenal dengan homeostasis. Homeostasis melibatkan protein
repressor maupun inducer yang akan bekerja secara seimbang.
Adanya ketidak seimbangan dalam pengaturan tersebut maka akan
mengakibatkan ketidakseimbangan jumlah enzim. Apabila jumlah
protein inducer lebih tinggi dibandingkan dengan protein repressor
maka jumlah enzim akan meningkat begitu juga sebaliknya.
13 


I. Spesifitas Enzim
Enzim biasanya sangat spesifik dalam aksinya. Spesifitas dari
substrat merupakan spesifitas yang paling sering ditemukan seperti,
urea dipercaya merupakan satu-satunya substrat untuk enzim urease,
demikian juga suksinat untuk enzim succinate dehydrogenase.
Beberapa kespesifikan yang dimiliki oleh enzim antara lain :
1. Kespesifikan geometrik
2. Kespesifikan reaksi
Tiap enzim akan mengkatalisis reaksi yang berbeda-beda.
Berdasarkan kespesifikan reaksinya, enzim diklasifikasikan menjadi
6 kelas oleh IUBMB.
3. Kespesifikan optik.
Enzim hanya dapat mengkatalisis salah satu pasangan
isomer optic suatu substrat. Misalnya, arginase hanya mampu
mengkatalisis hidrolisis L-arginin menjadi ornitin dan urea, tetapi
tidak mampu mengkatalisis D-arginin.
4. Kespesifikan organella
Dalam sel, enzim terdapat diberbagai macam organelle. Hal
ini penting dan berkaitan dengan tempat kerja enzim tersebut.
Sebagai contoh enzim yang digunakan untuk siklus asam sitrat
berada dalam mitokondria sedangkan enzim untuk proses glikolisis
berada dalam sitoplasma.
14 

Distribusi enzim di berbagai macam organelle ini dapat
dipelajari dengan melakukan fraksinasi yang dilakukan dengan
pemusingan dengan kecepatan tinggi. Penentuan lokasi enzim juga
dapat dilakukan dengan pemeriksaan histokimia dengan
menggunakan sayatan jaringan yang dibekukan (frozen section)
kemudian diproses dengan substrat untuk suatu enzim tertentu.
Jika enzim tersebut ada, maka akan terbentuk produk dari substrat.

J. Macam-macam Bentuk Enzim
1. Proenzim
Merupakan bentuk enzim yang inkatif. Untuk dapat menjadi
aktif proenzim akan mengalami proses dengan pembuangan dari
sebagian kecil strukturnya. Pembuangan tersebut merupakan
proses yang irreversibel. Proenzim sering disebut juga dengan
zimogen.
2. Isozim
Isozim merupakan bentuk enzim berbeda yang
mengkatalisis reaksi kimia yang sama. Isozim ini berasal dari
duplikasi gen. isozim dapat memperlihatkan perbedaan ringan
dalam sifat seperti sensitivitas terhadap factor regulatorik tertentu
atau afinitas substrat yang mengadaptasikan isozim ke jaringan
atau lingkungan tertentu.

15

laporan herbisida


BAB 1
PENDAHULUAN



A.    LATAR BELAKANG

Produksi tanaman pertanian, baik yang diusahakan dalam bentuk pertanian rakyat atau pun perkebunan besar ditentukan oleh beberapa faktor antara lain hama, penyakit dan gulma. Kerugian akibat gulma terhadap tanaman budidayabervariasi, tergantung dari jenis tanamannya, iklim, jenis gulmanya, dan tentu sajapraktek pertanian di samping faktor lain. Di negara yang sedang berkembang, kerugian karena gulma tidak saja tinggi, tetapi juga mempengaruhi persediaan pangan dunia. Tanaman perkebunan juga mudah terpengaruh oleh gulma, terutama sewaktu masih muda. Apabila pengendalian gulma diabaikan sama sekali, makakemungkinan besar usaha tanaman perkebunan itu akan rugi total.
Pengendalian gulma yang tidak cukup pada awal pertumbuhan tanaman perkebunan akan memperlambat pertumbuhan dan masa sebelum panen.  Beberapa gulma lebih mampu berkompetisi daripada yang lain (misalnya Imperata cyndrica), yang dengan demikian menyebabkan kerugian yang lebih besar. Persaingan antara gulma dengan tanaman yang kita usahakan dalam mengambil unsur-unsur hara dan air dari dalam tanah dan penerimaan cahaya matahari untuk proses fotosintesis, menimbulkan kerugian-kerugian dalam produksi baik kualitas maupun kuantitas. Oleh karena itu diperlukan pengendalian gulma secara efektif dan efisien.
Pengendalian dapat berbentuk pencegahan dan pemberantasan. Mencegah biasanya lebih murah tetapi tidak selalu lebih mudah. Di negara-negara yang sedang membangun kegiatan pengendalian yang banyak dilakukan orang adalah pemberantasan. Pengendalian gulma dapat dilakukandengan cara-cara Preventif (pencegahan), Pengendalian gulma secara fisik, Pengendalian gulma dengan sistem budidaya, Pengendalian gulma secara biologis, Pengendalian gulma secara kimiawi, dan Pengendalian gulma secara terpadu.











Pengendalian gulma secara kimiawi adalah pengendalian gulma dengan menggunakan herbisida. Yang dimaksud dengan herbisida adalah senyawa kimia yang dapat digunakan untuk mematikan atau menekan pertumbuhan gulma, baik secara selektif maupun non selektif.  Macam herbisida yang dipilih bisa kontak maupun sistemik, dan penggunaannya bisa pada saat pratanam, pratumbuh atau pasca tumbuh. Keuntungan pengendalian gulma secara kimiawi adalah cepat dan efektif, terutama untuk areal yang luas. Beberapa segi negatifnya ialah bahaya keracunan tanaman, mempunyai efek residu terhadap alam sekitar dan sebagainya. Sehubungan dengan sifatnya ini maka pengendalian gulma secara kimiawi ini harus merupakan pilihan terakhir apabila cara-cara pengendalian gulma lainnya tidak berhasil. Salah satunya pengendalian secara kimiawi dengan pestisida atau herbisida menggunakan alat penyemprot punggung (knapsack sprayer).



B.     TUJUAN

a.       Memberikan pengetahuan bagi mahasiswa dalam penerapan dosis aplikasi pestisida di lahan.
b.      Menentukan lebar efektif, debit (output) nozzle dan kecepatan jalan.
c.       Memberikan gambaran dalam pemberian aplikasi pestisida yang baik agar dapat meminimalisasi kerugian akibat pemborosan pemakaian pestisida dan kesalahan dosis sehingga aplikasi tidak menimbulkanhasil.
d.      Praktikum ini bertujuan antara lain agar mahasiswa mampu mengkalibrasidan mengukur dosis pestisida secara tepat dan benar dengan knapsack sprayer. Selain itu, melatih kemampuan berjalan sesuai dengan waktu yang telahdiperkirakan.
e.       Menghitung kebutuhan larutan herbisida yang diperlukan untuk satuan luas tertentu.


















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA



Keberhasilan penggunaan pestisida sangat ditentukan oleh aplikasi yang tepat, untuk menjamin pestisida tersebut mencapai sasaran yang dimaksud, selain factor jenis dosis, dan saat aplikasi yang tepat. Dengan kata lain tidak ada pestisida yang dapat berfungsi dengan baik kecuali bila diaplikasikan dengan tepat. Aplikasi pestisida yang tepat dapat didefinisikan sebagai aplikasi pestisida yang semaksimal mungkin terhadap sasaran yang ditentukan pada saat yang tepat, dengan liputan hasil semprotan yang merata dari jumlah pestisida yang telah ditentukan sesuai dengan anjuran dosis.
Adapun cara pemakaian pestisida yang sering dilakukan oleh petani, salah satunya adalah dengan penyemprotan (Spraying). Cara ini merupakan metode yang paling banyak digunakan (Wudianto,1999).

Ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam menaplikasikan sesuatu pestisida antara lain:

1.        Dosis Pestisida.

Dosis adalah jumlah pestisida dalam liter atau kilogram yang digunakan untuk mengendalikan sasaran tiap satuan luas tertentu atau tiap tanaman yang dilakukan dalam satu aplikasi atau lebih (Djojosumarto, 2008).

2.    Konsentrasi Pestisida

Konsentrasi penyemprotan adalah jumlah pestisida yang disemprotkan dalam satu liter air (atau bahan pengencer lainnya) untuk mengendalikan sasaran tertentu.
(Djojosumarto ,2008).



3.    Volume Semprot

Volume semprot adalah banyaknya larutan jadi pestisida yang digunakan untuk menyemprot sasaran tertentu per satuan luas atau per satuan individu tanaman (Djojosumarto ,2008).

4.    Bahan Penyampur

Pestisida sebagai bahan racun aktif (active ingredients) dalam formulasi biasanya dinyatakan dalam berat/volume. Bahan penyampur yang dapat digunakan adalah alkohol, minyak tanah, xyline dan air (Sastroutomo, 1992).

Salah satu  alat semprot yang digunakan, antara lain Knapsack Sprayer. Alat ini merupakan alat semprot yang sangat meluas digunakan. Alat ini hanya bisa untuk bahan cair dengan bahan pelarut air. Kapasitas tangki antara 15-20 liter dioperasikan secara manual dengan pompa tangan dan daya jangkaunya sangat terbatas yaitu 2 meter.
Dalam melakukan kalibrasi hal yang diperhatikan adalah kecepatan jalan harus konstan, tekanan semprot sprayer tetap, ukuran/tipe nozzel, ketinggian nozzel di atas permukaan tanah ( Panut, 2000).












BAB III
METODOLOGY


A.    ALAT DAN BAHAN

Alat : knapsack sparayer, meteran, gelas ukur, stop watch, ember, gayung, tali rafia, patok-patok kayu

Bahan : air bersih

B.     PROSEDUR KERJA

Adapun metode kerja yang dilakukan dalam praktikum ini, antara lain :

1.            Metode  luas

-   Dipersiapkan alat semprot dan nosel yang akan digunakan
-   Di masukkan air ke dalam tangki sprayer sebanyak 3 liter dan dipompa
    sebanyak 20 kali
-   Disemprotkan merata pada petak contoh
-   Diukur sisa air dalam tangki setelah dilakukan penyemprotan
-   Dihitung volume semprot tiap hektar lahan
-   Dilakukan pekerjaan yang serupa dengan 2 nosel yang berbeda







2.      Metode waktu

-   Dimisalkan volume semprotnya adalah 500 liter/hektar
-   Di masukkan air ke dalam tangki sprayer secukupnya
-   Ditentukan debit nosel dengan cara air disemprotkan selama waktu
    tertentu
-   Air yang keluar dalam nosel ditampung di dalam ember dan diukur
-    Dihitung kecepatan jalan operator
-    Dilakukan pekerjaan serupa dengan 2 nosel yang berbeda

C.     PARAMETER PENGAMATAN

Data yang diperoleh dari kalibrasi sprayer adalah data dari hasil pengukuran penyemprotan menggunakan nossle (merah, kuning, biru) pada dinding, kemudian di ukur panjang jangkauan dari nossle tersebut dan membandingkan hasil jangkauan dari warna – warna nossle tersebut.















BAB IV
HASIL, PENGHITUNGAN, DAN PEMBAHASAN



A.    HASIL

1.      LEBAR EFEKTIF

NO ULANGAN
WARNA NOSSLE
LEBAR EFEKTIF (meter)
1
KUNING
1,15
2
1,51
3
1,55
1
BIRU
2,04
2
2,10
3
1,69
JUMLAH

10,04
RERATA

1,67

2.      DEBIT

NO
WAKTU (menit)
JUMLAH LARUTAN (liter)
1
2
2

JUMLAH
2

RERATA
2






3.      KECEPATAN JALAN NOSSLE KUNING

NO
ULANGAN
JARAK (Meter)
PANJANG PENYEMPROTAN (Meter)
WAKTU
(Detik)
KECEPATAN (Km/Jam)
1
1
25
25
300
0,23
2
2
25
25
300
0,23
3
3
25
25
300
0,23
4
4
25
25
300
0,23
5
5
25
25
300
0,23
6
6
25
6,81
 60
0,32

JUMLAH

131,81
1560
1,47

RERATA

21,96
260
0,245

KECEPATAN JALAN NOSSLE BIRU

NO
ULANGAN
JARAK (Meter)
PANJANG PENYEMPROTAN (Meter)
WAKTU
(Detik)
KECEPATAN (Km/Jam)
1
1
25
25
300
0,23
2
2
25
25
300
0,23
3
3
25
25
300
0,23
4
4
25
25
300
0,23
5
5
25
25
300
0,23
6
6
25
25
 300
0,23
7
7
25
8,65
90
0,27

JUMLAH

158,65
1890
1,65

RERATA

22,66
270
0,235





B.     PENGHITUNGAN

*Debit nossle =           jumlah larutan (lt)                   =          2                =  1  lt/menit
                                    Jumlah waktu (menit)                         2
RUMUS :
*kecepatan jalan =      ..........  m         x          1000                =                      km/jam
                                    ...........det                    360                             

*Nossle Kuning

*kecepatan jalan =      25        m         x          1000                =          0,23     km/jam
                                    300      det                   360                              
*kecepatan jalan =      6,81     m         x          1000                =          0,32     km/jam
                                    60        det                   360                             

*Nossle Biru

*kecepatan jalan =      25        m         x          1000                =          0,23     km/jam
                                    300      det                   360                             
*kecepatan jalan =      8,65     m         x          1000                =          0,27     km/jam
                                    90        det                   360                             

           
C.     PEMBAHASAN

Pada praktikum ini menggunakan 2 metode dalam melakukan kalibrasi, yaitu metode luas dan metode waktu. Dimana pengertian kalibrasi itu sendiri adalah penyesuaian mekanisme kerja alat sesuai dengan standar baku. Standar bakunya adalah penyebaran herbisida secara rata di tempat/ lokasi lahan yang disemprot.
Kalibrasi dilakukan sebelum melakukan penyemprotan, dan harus memenuhi syarat, yaitu kecepatan jalan dan tekanan tangki harus konstan/ tetap, serta operator, alat, dan lahannya harus sama.
Tujuan dilakukannya kalibrasi adalah supaya dalam penyemprotan dapat dilakukan dengan jumlah yang tepat ke arah sasaran dan penggunaan herbisida menjadi efisien dan efektif
Dalam kalibrasi, kecepatan jalan operator sangat mempengaruhi karena dalam pelaksanaan di lapangan sangat dipengaruhi oleh bentuk topografi areal, penghalang seperti parit dan batang melintang. Selain itu posisi nossle juga sangat mempengaruhi dalam aplikasi herbisida. Ketinggian nossle dari permukaan gulma sasaran yaitu  50 cm.

Pada praktikum ini menggunakan 2 nossle dengan warna yang berbeda, dengan masing-masing nossle dilakukan pengulangan sebanyak 3 kali untuk metode luas dan 6 kali metode waktu.
Dari hasil penghitungan diatas, dapat diketahui bahwa Nossle biru memiliki jangkauan yang lebih luas dari Nossle kuning, hal ini diakibatkan dari beberapa faktor yaitu : pemompaan knapsack yang berbeda menyebabkan lebar penyemprotan berbeda, penyemprot yang berbeda orangnya yaitu antara penyemprot lebar efektif dan penyemprot kecepatan jalan nossle menyebabkan tekanan berbeda.












BAB V
PENUTUP



A.    KESIMPULAN
1.      Kalibrasi adalah penyesuaian mekanisme kerja alat sesuai dengan standar baku.
2.      Tujuan dilakukannya kalibrasi adalah supaya dalam penyemprotan dapat dilakukan dengan jumlah yang tepat  ke arah sasaran dan penggunaan herbisida menjadi efisien dan efektif.
3.      Pada metode luas, diterapkan pada lahan yang berskala sempit dengan tujuan untuk menentukan volume semprot.
4.      Pada metode waktu, dilakukan apabila volume semprotnya sudah ditentukan dengan tujuan untuk menentukan kecepatan jalan operator

B.     SARAN
Sebaiknya untuk praktikum berikutnya dapat dilakukan lebih baik dari praktikum sekarang, dan agar mendapat hasil yang baik sebaiknya operator knapsack tidak di ganti-ganti, karena mempengaruhi hasil perhitungan.












DAFTAR PUSTAKA



Anonim. 2012. Petunjuk Praktikum Ilmu Pengendalian Gulma. Fakultas Pertanian. UNTAN.
Djojosumarto, Panut. 2000. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius: Yogyakarta

Sastroutomo Soetikno S. 1992.Pestisida Dasar-Dasar Dan  Dampak Penggunaanya. Gramedia:  Jakarta.

Djojosumarto, P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Kanisius: Yogyakarta

Wudianto, R. 1999. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya, Jakarta

Sukma,Y. dan Yakup, 1991. Gulma Dan Teknik Pengendaliannya. Rajawali Press, Jakarta.